JAKARTA, ragama Suara Jelata--- Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia menyayangkan proses pembahasan RUU Pemilu yang sedang berjalan di DPR-RI sekarang ini, seolah pemenuhan kegiatan ritual yang rutin harus dilakukan setiap menjelang pemilu.
Selain praktiknya minim partisipatif publik, yang lebih fatal karena muatan yang diatur dalam RUU tersebut dominan seolah hanya menjadi ajang tarik menarik kepentingan kekuasaan.
Setidaknya dalam cacatan KOPEL, yang terekam di publik sekarang ini yang menjadi perdebatan dalam RUU Pemilu tidak lebih sekarang ini adalah soal sistem pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, besaran ambang batas parlemen dan Presiden, serta petanataan agenda pilkda.
Sebaliknya, selama pembahasan berlangsung di DPR-RI khususnya Komisi II yang membidangi kepemiluan tidak memperlihatkan adanya keinginan kuat menjadikan agenda pembahasan ini sebagai moment untuk membahas lebih medalam reformasi sistem pemilu yang lebih berintegritas.
"DPR sekarang seolah abai dengan realitas pemilu selama ini yang sangat buruk, penuh dengan noda keculasan tanpa kendali. Mulai dari praktik jual beli suara atau money politik sampai pada masih kuatnya intervensi kekuasaan," ujar Peneliti Senior KOPEL Indonesia, Syamsuddin Alimsyah kepada wartawan.
Lebih Jauh Syamsuddin Alimsyah menjelaskan lemahnya sistem pemilu selama ini telah berkontribusi nyata terhadap kinerja lembaga parlemen kita selama ini yang sungguh bukan hanya miskin produk tapi juga menjadi lembaga terkorup di Asia Tenggara. Sistem pemilu yang ada selama ini diibaratkan sebuah proses yang gagal melahirkan pemimpin berintegritas.
‘’Memang benar pemilu telah berhasil mendudukan orang sejumlah orang menjadi wakil rakyat atau bahkan Kepala Negara. Namun sekali lagi pemilu gagal menseleksi secara ketat orang – orang yang duduk di kursi terhormat tersebut adalah orang yang benar benar berintegritas,’’ jelasnya.
Menurut Syam, demikian biasa disapa, pembahasan sistem pemilu nasional dan pemilu daerah (pemilu lokal) memang penting, termasuk keinginan memasukkan penataan agenda pilkada serentak di Indonesia. Namun ini tidak menjawab sama sekali persoalan yang dihadapi sekarang yakni semakin tumbuhnya korupsi di lembaga negara. Bahkan dalam berbagai diskursuspun kualitas demokrasi mulai semakin menurun.
Berdasarkan catatan KOPEL, lanjut dia, sebenarnya beberapa persoalan serius yang harus dijawab dalam RUU Pemilu yang dibahas sekarang.
"Pertama, Kepesertaan dalam pemilu. RUU Pemilu sejatinya mampu menjangkau kepesertaan Parpol dalam pemilu tidak hanya mengatur jumlah tertentu kepengurusan hingga ke daerah, namun yang terpenting adalah bagaimana memastikan parpol sebagai peserta pemilu adalah parpol yang sehat, bagi dari segi tata kelola keuangannya. Parpol harus dipastikan bahwa dalam yang selama ini digunakan dalam menjalankan fungsinya adalah dana yang sumbernya halal. Bukan hasil setoran dari kader atas upayanya melakukan korupsi uang negara atau bahkan dana teroris. Dan untuk memastikan semua ini, maka syarat parpol menjadi peserta pemilu adalah yang memiliki laporan keuangan yang sehat dan sudah diaudit akuntan publik.
Hal yang sama juga saat pengajuan caleg harus dipastikan adalah benar kader yang berintegritas, atau tidak pernah terlibat dalam perbuatan tercelah. RUU Pemilu dari awal sudah harus lebih tegas sehingga tidak menjadi multi tafsir dan bisa mengundang perbedaan sikap dua penyelenggara pemilu KPU dan Bawaslu seperti yang terjadi pada pemilu 2019 lalu.
Kedua, pola rekruitmen caleg yang tidak sehat. Pemilu 2019 lalu mengingatkan kita bagaimana istilah transfer pemain dalam sepak bola juga masuk dalam dunia politik. Beberapa partai politik ditengarai melakukan praktik pembajakan kader sesama partai demi mengejar elektoral. Akibatnya, partai dianalogikan tidak ubahnya sebagai perusahaan saja yang mengelola bisnis rental kekuasaan. Praktik kutu loncat terutama menjelang pemilu menjadi fenomena tersendiri yang kadang sulit dihindari. Akibatnya kinerja kerja lembaga wakil rakyat secara langsung juga ikut terganggu. Lembaga DPR malah disibukkan aktivitas pergantian antar waktu bagi anggota. Dalam RUU ini sejatinya juga bisa diatisipasi dengan solusi pengaturan umur kekaderan yang akan diajukan menjadi caleg oleh partai politik.
Ketiga RUU Pemilu sekarang ini seharusnya mampu menjawab persoalan serius yang dihadapi setiap kali dilaksanakan namanya demokrasi, yakni praktik politik uang dan netralitas birokrasi. Tentu selain bentuk pelanggaran lain. Berdasarkan data Tranparansi Internasional tahun 2020, praktik jual beli suara dalam pemilu dan netralitas birokrasi tetap menjadi ancaman yang serius terhadap demokrasi kita.
RUU Pemilu yang ada sekarang harus didesain lebih kuat dalam penanganan kasus pelanggaran pemilu, termasuk evaluasi keberadaan lembaga gakundu yang dalam hal tertentu justru dipandang lebih banyak menghambat penanganan kasus politik uang di lapangan" urainya.
(*)