Eksistensi Sanksi Pajak Pada RUU Cipta Kerja: Solusi atau Ilusi? -->
Cari Berita

Eksistensi Sanksi Pajak Pada RUU Cipta Kerja: Solusi atau Ilusi?

Burhan SJ
Rabu, 18 November 2020

      _Penulis_
OPINI, SUARA JELATA --- Undang-Undang Cipta Kerja merupakan Undang-Undang yang begitu banyak menuai kritikan. Undang-Undang yang disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020 ini di gedung DPR membahas beberapa klaster, salah satunya mengenai perpajakan.

Staff Ahli Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Kementerian Keuangan, Awan Nurmawan Nuh menjelaskan, UU Cipta Kerja untuk klaster perpajakan sangat penting untuk memberikan kemudahan berusaha dalam meningkatkan investasi. Ia menyebutkan ada empat tujuan UU Cipta Kerja bidang perpajakan.

Pertama, meningkatkan pendanaan investasi lewat penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan secara bertahap yakni menjadi 22% di tahun 2020-2021 dan 20% di tahun 2022 dan seterusnya.
Kedua, mendorong kepatuhan wajib pajak dan wajib bayar secara sukarela dengan memberikan relaksasi hak pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha kena pajak dan telah diatur sanksi administrasi pajak  hingga imbalan bunga.

Ketiga, untuk meningkatkan kepastian hukum. Awan menjelaskan, ada beberapa peraturan yang selama ini kurang tegas. Contohnya terkait penentuan subjek pajak orang pribadi baik wajib pajak dalam negeri maupun luar negeri.

Keempat, untuk menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri. “Ini gambaran besar outcome apa yang akan kita capai dari tujuan UU Cipta Kerja ini,” jelas Awan dalam diskusi daring, Rabu (18/11). (nasional.kontan.co.id)

Perlu diketahui bahwa beberapa pasal pada omnibus law perpajakan sudah masuk ke dalam UU 2/2020, seperti penurunan pajak penghasilan (PPh) Badan dan pungutan pajak transaksi elektronik. “Langkah pemerintah menurunkan tarif PPh Badan dari 25 persen menjadi 22 persen perlu untuk dikritisi. 

Pemerintah tidak perlu menurunkan tarif PPh Badan. Pasalnya, tren penerimaan negara terus menurun dari tahun ke tahun sementara kita perlu memobilisasi sumber pembiayaan pembangunan agar dapat memenuhi layanan dasar dan jaminan sosial yang mensejahterakan rakyat,” ujar Ekonom The Prakarsa Cut Nurul Aida dalam keterangan tertulisnya, Jumat (9/10/2020).

Penurunan tarif PPh badan ini didasari alasan untuk menarik investasi masuk ke Indonesia sehingga akan menggerakkan ekonomi.

“Alasan ini kurang tepat karena yang paling utama yang perlu dilakukan adalah memperbaiki penegakan hukum atas praktik korupsi, perbaikan sistem kemudahan berusaha, perizinan, kontrak bisnis, dan sistem pelaporan dan pembayaran pajak untuk badan usaha . Dengan itu, maka investor akan yakin untuk berinvestasi di Indonesia,” ujarnya. (https://money.kompas.com).

Ekonom Indef Nailul Huda menilai, kluster perpajakan dalam UU Cipta Kerja hanya mengobral kemudahan bagi pengemplang pajak. Kemudahan diberikan saat tingkat kepatuhan wajib pajak masih rendah. Dicontohkan pada 2018, tingkat kepatuhan formal wajib pajak badan dan orang pribadi sudah mencapai 72 persen.

Namun, persentase yang melakukan pembayaran masih di kisaran 50 persen.
“Data itu mencerminkan, pada tahun 2018 itu masih banyak pengemplang pajak yang seharusnya sanksi diperberat. Namun fakta dilapangan tidak demikian. 

Para pengemplang pajak itu masih bisa tertawa dan menertawakan ketegasan hukum perpajakan di Indonesia, Omnibus Law ini juga karpet merah bagi pengemplang pajak setelah tax amnesty tahun 2016,” katanya. (bongkah.id).

Berdasarkan referensi diatas, dilihat dari target pajak tersebut hingga saat ini, menurunkan sanksi administrasi tidak ada jaminan yang pasti akan meningkatnya penerimaan pajak. Kita perlu belajar dari pemberlakuan Tax amnesty/pengampunan pajak yang justru gagal memenuhi harapan negara terkait peningkatan kepatuhan wajib pajak. Pemberian sanksi yang ringan justru akan melonggarkan kepatuhan wajib pajak. Pun demikian, hal ini akan berdampak pada penurunan tren penerimaan pajak yang semakin jauh dari target.

Selain itu, penguatan hukum terkait pajak harus selalu ditegakkan. Agar pajak sebagai sumber pendapatan negara mampu menciptakan kesejahteraan bersama baik masyarakat, bangsa dan negara dengan tetap menjunjung tinggi kesadaran mengenai kepatuhan wajib pajak.

Oleh: Rizkiani (Program Studi Ekos IAIM Sinjai).

*Tulisan adalah Tanggung Jawab penulis.